A.
Pengertian Diksi (Pilihan Kata)
Diksi berasal dari kata dictionary
(bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan
kata. Dalam websters (edisi ketiga, 1996) diction diuraikan
sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or
effectiviness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal
kebenaran, kejelasan, keefektifan. Ada tiga pengertian diksi yang harus
diketahui :
1. Diksi atau pilihan kata mencakup
pengertian kata-kata mana yang akan dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan,
bagaimana membentuk pengelompokan kata atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang
tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
2. Diksi atau pilihan kata adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin
disampaikan ,dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan
situasi dan nilai rasa yang dimiliki oleh suatu kelompok pendengar/penerima.
3. Diksi adalah suatu pilihan kata yang
tepat dan sesuai, hanya dimungkinkkan penguasaan sejumlah besar kosakata atau
pembendaraan kata bahasa.
B.
Perangkat-perangkat diksi
a. Kata berdenotasi dan berkonotasi
Kata denotasi adalah kata yang tidak mengandung
makna tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu. Adapun maknanya adalah
makna denotative. Yang artinya makna sebenarnya, yang di tunjuk oleh sesuatu
yang disimbolkan. Misalnya sebuah peranti (alat) duduk di kantor yang
dimnamakan kursi maka sebuah tempat duduk dinamakan sebagai kursi. Kata
kursi dalam hal ini memiliki
makna apa adaya sesuai yang disimbulkan. Tidak ada nuansa makna lain diluar
makna sesungguhnya. Jadi makna demikian inilah yang dimaksud makna denotative.
Didalam
karya-karya ilmiah akademik diperguruan-perguruan tinggi, yang lazimnya juga
membuat banyak mahasiswa kalang-kabut ketika dituntut menyelesaikannya.
Dikarenakan karya ilmiah akademis dasarnya adalah data atau fakta sesungguhnya,
dan bahasa yang digunakannya pun harus denotative, konseptual, referensial,yang
sesuai dengan obyek dan fakta sebenarnya.
Kata konotasi adalah kata kiasan atau
bukan kata sesungguhnya. Jadi sebuah kata bisa diartikan berbeda pada
masyarakat yang Satu dan masyarakat yang lainnya. Makna konotatif memiliki
nuansa makna subyektif dan cendrung digunakan dalam setuasi tidak normal.
Contoh dalam konteks ilmiah, coba perhatikan kalimat “dengan memanjatkan
puji syukur…” pemakaiaan bentuk “memanjatkan” dalam kalimat tersebut jelas
sekali bermakna konotatif,bukan denotative.
b. kata bersinonim dan berantonim
kata bersinonim artinya kata sejenis, sepadan,
sejajar, serumpun, dan memiliki arti sama. Atau dapat diartikan bahwa sinonim
adalah persamaan makna kata maksudnya
dua kata atau lebih yang berbeda bentuknya, ejaanya, penucapan, atau lafalnya,
tetapi memiliki makna sama atau hampir sama. Contohnya kata “hamil,dan mengandung
serta bunting “ ketiga bentuk kata tersebut dapat dikatakan
bersinonim karena bentuknya beda, tetapi maknanya sama.
Kata
berantonim adalah yang memiliki bentuk yang tidak sama dengan makna
lainnya. Atau kata yang berlainan makna dengan kata sinonim. Contohnya kata panas
dan dingin. Bentuk berantonim dapat dibedakan menjadi 4 perbedaan.
Pertama antonim kembar yaitu menunjuk pada perbedaan antara dua entitas
kebahasan, misalnya ‘jantan dan betina’. Cirri mendasar antonim kembar adalah
kehadiran entitas kebahasan yang satu meniadakan entitas kebahasan yang satunya
lagi. Kedua antonim plural cirri pokoknya adalah penegasan pada anggota
tertentu akan mencakup penyangkalan setiap anggota lain secara terpisah,
misalnya kelas logam, kelas tumbuh-tumbuhan, kelas buah-buahan. Ketiga
antonim gradual yaitu merupakan penyimpangan dari antonim kembar (dual). Kalau
dalam antonim kembar ada dikotomi ‘kaya dan miskin’, maka dalam antonim gradual
terdapat ‘setengah kaya, atau lumayan kaya atau agak kaya. Keempat antonim
relasional yaitu bentuk kebahasaan yang
dianggap berantonim memiliki relasi kebalikan, misalnya antar ‘guru dan murid’.
c. kata bernilai rasa
Diksi atau
pemilihan kata juga mengajarkan senantiasa menggunakan kata-kata yang brnilai
rasa tinggi. Memang terkadang ada kontroversi antara kata-kata bernilai rasa
dengan kata-kata baku. Dalam konteks ini kita harus cermat dalam memahaminya,
kalau dalam pembahasan karya ilmiah tentu yang akan berlaku adalah kata-kata
baku, namun jika dalam laras pemakaian bahasa yg lebih santai maka bisa kita
gunakan kata yg bernilai rasa. Contoh pemakaiaan umum ‘wanita dan perempuan.
Ada yang mengatakan kata perempuan lebih bagus dari kata wanita, dan juga kata
‘pelacur dan pekerja sek komersian’. Antara dua kata ini kita dapat bedakan
mana kata yg memiliki nilai rasa dan mana yang tidak.
d. kata konkret dan abstrak
kata konkret adalah kata-kata yang
menunjukkan pada obyek yang dapat dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau
dicium. Kata konkrat merupakan kata yang lebih mudah dipahami daripada kata
abstrak. Keefektifan kata konkret sering di gunakan dalam deskripsi karena
kata-kata konkret lebih dapat merangsang pancraindra. Jadi kata konkret
merupakan kata-kata yang dapat diindra. Dengan demikian kata konkret sifatnya
menyimbolkan atau melambangkan sesuatu, contohnya kata ‘meja dan kursi’.
Kata abstrak
adalah kata yang menunjukkan pada konsep atau gagasan. Kata abstrak cendrung
dipakai untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang cendrung rumit. Penggunaanya
lazim untuk membuat persuasi/ argumentasi, misalnya kata ‘pembodohan dan
kemiskinan’. Tentu saja dua kata tadi merupakan kata-kata abstrak yang hanya
dapat ditangkap maknanya dengan kejernihan pemikiran dan ketajaman pikir. Jadi
pemaknaan dan penafsiran kata-kata abstrak itu bukan melalui indra.
e. kata umum dan kata khusus
Kata-kata umum adalah kata-kata yang lebih luas
ruang lingkupnya, yang memerlukan penjabaran dan perincihan yang lebih dari
pada kata khusus. Semangkin umum suatu kata maka semangkin kabur gambarannya
dalam angan-angan, dari sini dapat dikatakan bahwa pemakaian kata-kata umum
bertentangan dengan prinsip akurasi. Akurasi dalam artian ketelitian dan
ketepatan secara spesifik, sesuatu yang khas, yang membedakan dngan yang lain.
Kata-kata umum bias mengaburkkan pesan dan menyesatkan pemahaman, Misalnya kata ‘banyak korban’ bentuk kata ini
adalah kata yang perlu dihindari dalam deskripsi. Alasannya makna frasa ‘banyak korban’ masih terbuka
untuk diargumentasikan.
Kata-kata
khusus adalah kata-kata yang merupakan kebalikan dari kata-kata umum yaitu
kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks pemakaiaanya.
Kata-kata khusus lebih menegaskan pesan, lebih memusatkan perhatian, dan
memfokuskan pengertian, serta selaras dengan perinsip akurasi kejurnalistikan.
Misalnya kata umum ‘banyak koraban’ dapat kita khususkan lagi katanya dengan
menggunakan angka yang tepat untuk menunjukkan kespesifikan, jenisnya dan
kelompoknya. Misalnya ‘para korban banjir yang terdiri atas 200 pria dan 100
perempuan, 50 remaja, dan 60 balita masing-masing mendapatkan selimut’. Dari
contoh tersebut maka seseorang akan lebih memusatkan dimensi-dimensi kekhususan
dan kespesifikan kata tersebut.
f. kelugasan kata
Kata lugas adalah kata yang ringkas, tidak
merupakan frasa yang panjang, tidak mendayu-dayu, dan tidak berbelt-belit.
Lazimnya kata lugas merupakan kata yang kompleks, yang bahasa gaulnya adalah
kata tembak langsung (to the point), tegas lurus dan apa adanya. Pemakaian
bentuk-bentuk yang vertabilitis, yang keasing-asingan, sesungguhnya dapat
dianggap bertentangan dengan perinsip kelugasan ini. Memang cendrung orang
menggunakan bahasa asing karena dianggap kata-kata bukan asing tidak lugas,
kurang pas dan tidak mengambarkan konsep. Misalnya kata jima’ (senggama)
sepertinya terlalu lugas dan terlalu langsung di banding dengan kata ‘berhubungan
badan’.
g. Penyempitan dan perluasan makna kata
Penyempitan kata
adalah pergeseran makna kata dalam kurun waktu tertentu yang bermakna luas
menjadi bermakna sempit atau sangat terbatas, penyempitan kata yang demikian
ini memang merupakan tuntutan kehidupan atau perkembangan bahasa. Contohnya
kata ‘pendeta’ yang semula bermakna orang yang berilmu, tetapi kini menyempit
maknanya menjadi ‘guru agama kristen’ atau ‘pengkhutbah kristen’. Hal ini
terjadi karena adanya dinamika-dinamika bahasa yang bermakna baru, adapun
bahasa yang hidup pasti akan terus berdinamika.
Perluasan kata
adalah kebalikan dari penyempitan kata hal ini terjadi sama halnya dengan makna
penyempitan kata yaitun disebabkan oleh perkembangan dan pertumbuhan dinamika
bahasa yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Ini merupakan symbol dari
kesuburan bahasa. Misalnya kata ‘bapak’ dalam pengertian sempit pasti hanya
digunakan oleh seorang anak kepada ayahnya. Akan tetapi cobalah perhatikan,
sekarang seorang pimpinan di kantor-kantor pasti di sebut ‘bapak’ demikianlah
fakta yang berlaku dalam pamakaian perluasan kata.
h. keaktifan dan kepasifan kata
Dalam diksi atau pemilihan kata yang di
maksud dengan kata-kata aktif atau pasif di sini bukanlah kata yang berawalan me-
ataupun di-. Adapun yang di maksud dengan kata-kata aktif disini adalah
kata-kata yang banyak di gunakan oleh tokoh masyarakat, selebritis, para
jurnalis media, dosen politisi, dan sebagainya.
Terjadinya hal ini lazim karena proses kreatif, yakni
kreatifitas yang bersifat membangkitkan atau generative. Pemakaian bahasa
Indonesia kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti sekaligus
saksi akan banyak di lahirkannya kata-kata yang baru. Praktek pengaktifan kata
misalnya dapat dilihat dari pemakaian bentuk ‘terkini’ oleh media massa.
Tidak banyak yang tahu bahwa bentuk kebahasaan yang demikian itu sebenarnya
tidak benar dari sisi kebahasaan. Bentuk adverbia ‘kini’ bagaimana
mungkin di tambah dengan awalah ter- sehingga menjadi terkini.namun kata
tersebut telah di aktifkan oleh media massa sehingga pemakaian kata tersebut
menjadi luas. Oleh sebab itu hendaklah mahasiswa harus cermat dalam menguasai
bentuk-bentuk kata yang aktif digunakan secara tidak benar.
i.
ameliorasi dan peyorasi kata
Yang di maksud amelliorasi dalam diksi
adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru, ketika bentuk yang
baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta
konotasinya dibandingkan yang lama.
Adapun peyorasi
adalah kebalikan dari ameliorasi yakni perubahan makna dari yang baru ke yang
lama, karena yang lama diaggap nilai rasa dan konotasinya lebih tinggi.
Bolak-baliknya hal ini adalah suatu bukti dari dinamika bahasa yang bermatabat.
Misalnya bentuk kata ‘sangkul’ dan ‘mangkus’ dengan maksud ‘efektif’
dan ‘efisien’. Serta kata ‘berak’ dan ‘kakus’, dimana
kata tersebut sudah jarang digunakan pada zaman sekarang dan orang telah
berpindah kebentuk yang lebih bermartabat dan memiliki rasa yang tinggi.
j.
Kesenyawaan kata
Yang di maksud
dengan kesenyawaan kata adalah bentuk
indiomatis kata yang satu dan yang lainnya berhubungan erat, lekat, dan tidak
bias dipisahkan oleh alasan apapun juga. Misalnya saja bentuk kata ‘sesuai dengan’ dan ‘disebabkan oleh’. Dimana
banyak orang menyimplifikasikan bentuk kata ‘sesuai dengan’ menjadi
bentuk ‘sesuai’ saja dan bentuk kata ‘disebabkan oleh’ menjadi
bentuk disebabkan’ saja. Bentuk indiomatis ini sudah merupakan bentuk
senyawa yang sudah tidak mungkin di modifikasi lagi.
k. kebakuan dan ketidakbakuan kata
Bentuk baku
hadir karena adanya pembakuan bentuk – bentuk kebahasaan, yang pada gilirannya
akan menjadikan bahasa Indonesia semakin bermartabat. Lazimnya akan banyak
digunakan oleh masyarakat, pertama masyarakat dalam pengertian domestik
maksudnya bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi. Kedua,
masyarakat dalam pengertian internasional maksudnya bahasa indonesia sangat
berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi bahasa yang berharkat dan
bermartabat tinggi.
C. Pengertian
Frasa
Frasa adalah satuan sintaktis yang berupa kelompok kata,
yakni terdiri atas dua kata atau lebih yang bersifat non-predikatif, atau tidak
memiliki ciri struktur klausa (Hockett, 1964:201), tidak memiliki subjek dan
predikat.
Secara umum frasa atau kelompok kata dapat dibedakan menjadi
dua yakni frasa eksosentris dan frasa endosentris. Adapun frasa eksosentris
adalah frasa yang sebagian unsurnya, atau mungkin juga keseluruhannya, tidak
memiliki prilaku sintaksis yang sama dengan semua komponennya. Adapun
komponenya ada dua yaitu komponen sumbu dan komponen perangkai, maksud komponen
perangkai ialah berupa preposisi dan kata depan.
Adapun frasa atau kelompok kata yang mengunakan preposisi
atau kata depan sebagai perangkai disebut frasa preposisional (frasa
eksosentris direktif). Misalnya bentuk kata ‘dengan sabar’, ’dengan baik’,
‘pada hari’, di samping’, ‘demi waktu’, dll. Frasa eksosentrik direktif ini
di dalam kalimat lazimnya berfungsi sebagai keterangan.
Sedangkan frasa eksosentrik nondirektif dibagi dua ada yang
seluruh atau sebagian komponennya memiliki prilaku yang sama, misalnya bentuk
kalimat ‘sang kecil’, dan ‘si terdakwah’. Dua partikel tersebut yaitu ‘sang’,
dan ‘si’ memiliki prilaku sama dengan bagian-bagian frasa tersebut.
Ada juga beberapa kalimat yang tidak memiliki prilaku yang sama dengan
bagian-bagiannya misalnya bentuk kata ‘yang besar’, kata ‘yang’ tidak memiliki prilaku yang sama dengan kata ‘besar’.
Frasa endosentris adalah frasa yang seluruh bagiannya
memiliki prilaku sintaksis yang sama dengan prilaku salah satu komponen frasa
tersebut. Frasa ini di bagi menjadi beberapa bagian yang akan di terangkan
berikutnya.
1. Frasa Nominal
Yaitu
frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan
unsure-unsur lain yang berupa adjektiva. Verba, numeralia, demonstrative,
pronominal, dan bentuk-bentuk kebahasaan yang lain, yang berfungsi sebagai
modifikator atau penjelasnya. Contohnya bentuk kalimat ‘kawan seperjuangan’,
‘sosok yang terpanjang’, ‘wanita cantik jelita’, dll.
2. Frasa Pronominal
Yaitu
frasa yang konstruksinya merupakan gabungan antara nomina dan pronomina dengan
unsure-unsur lainnya seperti adjektiva, adverbial, numeralia, dan
demonstrative. Pronominal tersebut sebagai nduknya, sedangkan unsure-unsur yang
ainnya merupakan modifikator atau penjelasnya. Contohnya bentuk kata ‘mereka
itu’, ‘kamu itu’, mereka berdua’, ‘saudara sekalian’, dll.
3. Frasa Verbal
Yaitu
gabungan antar verba dan verba, verba dengan adverbial atau yang lainnya. Jadi
verbalah yang menjadi inti atau induk dari frasa verbal, dan unsure-unsur yang
lainnya merupakan penjelas atau modifikatornya. Contohnya bentuk kata ‘pergi
ke jakarta’, ‘naik jabatan’, ‘meninggal dengan tenang’, dll.
4. Frasa Adjektival
Yaitu
frasa yang merupakan gabungan antara adjektiva dan komponrn yang lainnya.
Adapun induk atau inti frasa tersebut adalah kata sifat atau adjektiva,
sedangkan komponen-komponen lain yang membentuk frasa berfungsi sebagai
penjelas atau modifikatornya. Contohnya bentuk kata ‘panas terik’, ‘riang
gembira’, ‘gelap gulita’, dll.
5. Frasa Numeral
Yaitu
frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dan unsu-unsur lainnya. Di dalam
kontruksi frasa ini, numeralialah yang menjadi induk atau inti frasanya.
Contohnya bentuk kata ‘dua puluh’, ‘dua ekor’, ‘dua lusin’, dll.
6. Frasa Interogativa
Yaitu
frasa yang intinya adalah interogativa. Contohnya bentuk kata ‘siapa dan
apa’, ‘mengapa dan bagaimana’. Frasa demonstartiva biasanya bersifat
koordinatif.
7. Frasa Demonstrativa
Yaitu
frasa yang induknya adalah demonstrative. Contohnya bentuk kata ‘sana dan
sini’, ‘ini dan itu’. Frasa demonstrative biasanya bersifat koordinatif.
8. Frasa Preposisional
Yaitu
frasa yang induknya adalah preposisi. Contohnya bentuk kata ‘dari dan ke’,
‘dari, oleh, dan untuk’. Frasa preposisional biasanya bersifat koordinatif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar